loading...

Monday, October 2, 2017

Ketagihan Media Sosial? Inilah Mengapa Banyak Orang Suka Bermain Media Sosial

Apakah kamu pernah merasa kecanduan media sosial seperti facebook atau instagram?

Mungkin awalnya, kamu hanya ingin melihat notifikasi yang masuk, namun setelah 30 menit menjelajah, kamu menyadari bahwa kamu tidak hanya melihat notifikasi, melainkan melihat-lihat status orang lain, menyukai dan mengomentari postingan mereka bahkan membuka tautan-tautan yang kamu anggap menarik. Artinya, apa yang disebut ‘dopamin’, sedang bekerja pada dirimu saat itu.

Media sosial phone
Image: Media sosial smartphone
Hormon dopamin merupakan kimiawi organik yang memiliki peran penting pada otak dan tubuh secara keseluruhan. Dopamin ditemukan pada tahun 1958 oleh Arvid Carlsson dan Nils-Ake Hillarp di National Heart Institute of Sweden.

Dopamin terdapat di berbagai bagian otak dan sangat penting dalam segala macam fungsi otak seperti berpikir, bergerak, tidur, mood, perhatian, motivasi, mencari, dan penghargaan.

Dopamin juga berperan sebagai penyebab mengapa kita merasa terdorong untuk berbagi informasi tentang diri kita dan hari-hari kita di media sosial. Kita merasa senang saat ada orang lain yang menyukai, mengomentari bahkan membagikan status facebook atau tautan yang kita bagikan, hal tersebut membuat kita merasa senang karena artinya orang lain mengapresiasi apa yang kita bagikan.

Bagaimana dopamin membuat orang suka mengakses media sosial


Berikut Fenomena Harimu paparkan alasan dopamin membuat kita suka bermain media sosial,

1. Dopamin memicu perasaan senang

Mungkin kamu pernah mendengar bahwa dopamin mengendalikan sistem ‘kesenangan’ otak. Dopamin membuatmu merasakan kenikmatan, kesenangan, dan memotivasi kamu untuk melakukan beberapa perilaku tertentu seperti bermain media sosial, kesenangan terhadap makanan, seks atau obat-obatan.


2. Dopamin memicu rasa ingin tahu yang tinggi.

Dopamin merupakan ‘bahan bakar’ dalam mencari informasi. Dopamin membuat kita penasaran dengan sebuah gagasan. Dopamin menyebabkan kita ingin mencari, mencari dan terus mencari informasi.

Itulah sebabnya ketika bermain media sosial seperti facebook, twitter, atau instagram, kita akan sulit berhenti memainkannya karena dopamin mendorong kita untuk terus mencari banyak hal di media sosial tersebut. Tambah lagi kata yang digunakan terlampau sangat sedikit sehingga lebih mudah dipahami oleh kita.

Dopamin lebih bereaksi terhadap kalimat yang memiliki kurang lebihnya 140 huruf, itulah mengapa salah satu raksasa media sosial membatasi orang yang akan membuat tweet tidak lebih dari 140 huruf.

Sama halnya ketika kita mencari informasi di google, awalnya mungkin hanya mengenai 1 hal yang kita ingin kita tahu, namun dopamin mendorong kita untuk mencari informasi tentang banyak hal lainnya. Sehingga tab pencarian menjadi lebih banyak dari yang sebenarnya akan dibaca.

3. Dopamin menstimulasi akal

Dengan kemudahan mengakses internet dan media sosial sekarang ini, kita mendapatkan ‘kepuasan instan’ atas keinginan kita untuk mencari suatu informasi. Ingin langsung bicara dengan seseorang? Kirim saja pesan melalui WhatsApp atau BBM, mereka akan merespon dalam beberapa detik. Ingin mencari beberapa informasi? Cukup ketikkan kata kunci ke Google. Ingin melihat apa yang sedang dilakukan temanmu? Jelajah saja Twitter atau Facebook.

Dengan kata lain, dopamin membuat kita mulai mencari, lalu kita mendapat ‘imbalan’ berupa informasi dari pencarian tersebut, dan akhirnya membuat kita mencari lebih dan lebih banyak lagi. Kita menjadi begitu sensitif terhadap bunyi "ding" pada smartphone, tanda munculnya notifikasi.


Hal tersebut membuat kita sulit  untuk berhenti melihat email, berhenti mengirim pesan whatsapp, berhenti memeriksa ponsel kita untuk melihat apakah kita memiliki pesan. Kita masuk ke lingkaran dimana akal distimulasi oleh dopamin.

4. Dopamin tidak membuat kenyang informasi

Ketika kita menemukan informasi. Selama menjelajah Google kita tahu bahwa kita sudah memiliki jawaban atas pertanyaan yang awalnya kita tanyakan, namun lama-lama kita sadar bahwa kita mencari lebih banyak informasi yang awalnya tidak kita tanyakan tersebut. Informasi yang kita dapatkan tidak membuat kenyang, melainkan membuat kita semakin lapar untuk menggali informasi lebih banyak lagi.

5. Dopamin distimulasi oleh ketidakpastian

Dopamin juga distimulasi oleh ketidakpastian. Bila terjadi sesuatu yang tidak dapat diprediksi, maka akan merangsang sistem dopamin.Misalnya, saat ponsel kita berbunyi menandakan bahwa kita menerima pesan, kita tidak pernah tahu pesan dari siapakah itu, atau apa yang dikatakan mereka sampai kita membuka pesan tersebut. Ketidakpastian ini yang membujuk kita untuk melihat smartphone sekitar 27 kali sehari.

Namun, media sosial tidak bisa disebut sebegai sesuatu yang ‘adiktif’. Kecanduan media sosial tidak seperti ketergantungan pada zat- zat kimia (seperti alkohol, obat-obatan penenang dll), Internet dan media sosial tidak sepenuhnya merusak. Selain itu, ada beberapa manfaat media sosial dan internet bagi individu dan masyarakat sehingga sulit untuk memberi label ‘adiktif’.

Danah Boyd, penulis buku It's Complicated: The Social Lives of Networked Teens, percaya bahwa
“Most teens aren’t addicted to social media; if anything, they’re addicted to each other”.
(Kebanyakan remaja tidak kecanduan media sosial; yang ada hanyalah mereka kecanduan satu sama lain.)

Kita harus ingat bahwa terlalu banyak menghabiskan waktu di media sosial dapat membawa kita menjauh dari hal-hal lain yang lebih penting, tetapi sama baiknya jika kita memiliki percakapan yang menarik dan relevan di media sosial yang merupakan hal positif dan semakin baik. Kamu perlu menggunakan media sosial secara efektif dengan cara yang benar.

Related post:

Referensi:
Ramasubbu, Suren. Biological & Psychological Reasons for Social Media Addiction. 2017. huffingtonpost
Weinschenk, Susan. 47 Mind-Blowing Psychological Facts You Should Know About Yourself. 2010. businessinsider

Penulis FH Rijal
Penulis konten: Rijal
"Anak teknik yang juga belajar psikologi, suka hal yang berkaitan dengan komputer, dan seorang ambivert."