loading...

Saturday, August 3, 2019

Hal Yang Perlu Kamu Ketahui Mengenai Quarter Life Crisis Pranikah

"Kok hidup saya begini-begini aja, ya? Coba kalau udah nikah pasti lebih bahagia.”
“Usia hampir seperempat abad, kok rasanya belum siap nikah, ya?”

Pernah berbicara semacam itu ke diri sendiri? Terutama ketika kamu telah memasuki usia 20 tahun. Memasuki usia 20 tahun, manusia dihadapkan pada berbagai keputusan-keputusan hidup yang lebih kompleks yang membuatnya rentan mengalami ‘gejolak’ dalam diri. Diantaranya seseorang merasa bingung dengan hidup yang sedang dijalani, cemas dengan apa yang akan terjadi dimasa mendatang. Fenomena ini dikenal dengan istilah Quarter Life Crisis (QLC). Pernah mengalaminya?

Quarter Life Crisis
Gambar. Quarter Life Crisis [Pixabay]


Menurut psikolog Atwood dan Scholtz, quarter life crisis adalah gejolak yang timbul sebagai masa transisi dari fase remaja ke fase dewasa, biasanya muncul di usia 18-29 tahun. Karena di usia 18, biasanya kita telah selesai menjalani kewajiban belajar di sekolah dan dianggap bisa mengambil keputusan-keputusan yang lebih besar tanpa intervensi orang tua. Rasa cemas dan bingung yang dialami bukan hanya tentang karir, finansial dan relasi, namun juga tentang menikah. Dan menurut Cyrus William, puncak quarter life crisis biasanya akan terjadi di usia 25 tahun.

As a culture, we all think that age 25 is the best stage of our life –these folks are happy, they’re doing everything they want and it’s a great time of life,”

–Cyrus Williams, anggota American Counseling Association (ACA)

Penyebab Quarter Life Crisis Pranikah

 
 #1 Streotip Masyarakat
Dalam pandangan (streotip) masyarakat kita, jika sudah lulus sekolah atau kuliah, lalu bekerja, selanjutnya ya menikah. Di usia 18 tahun rata-rata sudah lulus dari sekolah tingkat atas, dan lulus dari kuliah rata-rata diusia 22 tahun. Setelah itu, seseorang dianggap telah memasuki fase yang tepat untuk segera menikah. Ibaratnya, memang mau apa lagi? Pandangan masyarakat kita bahkan menganggap bahwa wanita lebih baik menikah sebelum 25 tahun, sedangkan laki-laki sebelum 30 tahun. Selebihnya dianggap ‘terlambat’ menikah. Hmm... Setujukah kamu?

#2 ‘Perlombaan’ Di Media Sosial
Sadar tidak, sih? Media sosial seolah sebuah ajang perlombaan untuk memperlihatkan kebahagiaan, salah satunya dalam hal pernikahan. Punya pacar dan akan menikah, memperlihatkan foto berdua. Setelah menikah, upload foto mesra bersama pasangan disertai caption yang mendayu-dayu. Hamil, memosting foto tespack dan hasil USG. Menyusui, memosting hasil memompa asi dan lainnya. Seakan-akan dunia harus tahu bahwa dia sedang melakukan apa, dimana dan sedang bahagia.

Ditambah dengan maraknya akun-akun provokatif yang mengampanyekan orang-orang agar segera menikah, termasuk para selebgram yang hobi memperlihatkan sisi indah dari pernikahan. Hal ini memicu kegalauan bagi yang melihatnya, apalagi yang sedang memasuki usia fase quarter life crisis. Berpikir bahwa hidupnya akan lebih indah jika menikah juga.

Saya rasa, kedua hal diatas menjadi faktor terbesar yang menyebabkan seseorang mengalami quarter life criris pranikah, lalu, bagaimana cara kita agar tidak berlama-lama di fase tersebut?

Agar Terbebas Dari Fase Quarter Life Crisis Pranikah


Jika kamu beranggapan bahwa solusi agar keluar dari fenomena ini adalah dengan segera menikah, saya rasa tidak selalu benar. Pemahamanmu perlu diperluas lagi agar tidak sempit. Berikut beberapa tips agar kamu bisa terbebas dari quarter life crisis pranikah,

#1 Pahami bahwa menikah bukan pelarian

Kalau kamu berpikir bahwa dengan menikah masalah-masalah hidupmu akan selesai, kamu salah. Menikah tidak hanya tentang kamu dan pasangan, namun tentang keluargamu, keluarganya, lingkunganmu dan lingkungannya. Menyatukan pemikiran kamu dan pasangan saja tidak selalu mudah dan terkadang menimbulkan masalah, apalagi banyak orang? Menikahlah karena kamu memang telah siap dan berani menerima segala konsekuensinya, bukan karena ingin lari dari masalah.

#2 Kenali diri sendiri secara utuh
Sebelum memutuskan akan menikah, kenali dirimu sendiri. Apakah kamu tipe orang yang sangat mudah beradaptasi dengan orang lain atau sebaiknya, bagaimana caramu memperbaiki suasana hati dan lainnya. Karena dengan memahami karaktermu sendiri, kamu akan lebih mudah memahami karakter seperti apa yang kamu butuhkan sebagai pasanganmu, tidak sembarangan menerima orang yang datang hanya karena kamu ‘kebelet’ nikah dan jadi tidak objektif dalam memilih.

#3 Hindari akun-akun provokatif
Orang-orang dibalik akun-akun provokatif tidak bertanggung jawab jika pernikahanmu tidak seindah unggahan-unggahan mereka, loh. Follow lah akun-akun yang lebih edukatif dan informatif. Memberikanmu banyak wawasan dalam persiapannya, bukan ‘baper’nya. Pelajari tentang kehidupan pernikahannya, bukan sekedar menikahnya. Pahamilah bahwa setiap orang mempunyai zona waktunya masing-masing, tidak ada yang terlalu cepat atau terlalu lambat.

#4 Maksimalkan peran ‘mumpung’ masih sendiri
Alih-alih ingin segera punya pasangan dengan tujuan beribadah, saling membahagiakan dan saling menasehati, jadi lupa bahwa ada orang tua yang harus kamu bahagiakan lebih dulu, ada adik dan kakak yang harus kamu bimbing, ada keluarga besar yang harus kamu prioritaskan. Memang, dengan menikah, tidak membuatmu serta merta meninggalkan mereka. Namun pahamilah bahwa prioritasmu setelah menikah akan bergeser. Maksimalkan peranmu sebagai anak, sebagai adik, sebagai kakak, sebagai manusia yang beperan dalam masyarakat. Pelajari banyak ilmu ‘mumpung’ masih sendiri untuk memperkaya pengetahuan, pemahaman dan pengalamanmu.

#5 Jangan terjebak perspektif orang lain
Orang lain boleh beranggapan misalnya menikah di usia 23 tahun adalah yang paling ideal, bahwa jika menikah sebelum 23 tahun maka dianggap terlalu cepat dan setelah 23 dianggap terlambat. Jangan terjebak perspektif orang lain karena kamu lebih tahu yang terbaik untuk dirimu sendiri. Jika memang menurutmu menikah sebelum itu adalah waktu yang tepat dan kamu telah siap, kenapa tidak? Jika menurutmu menikah diatas 25 tahun adalah waktu yang tepat karena kamu juga merasa belum menemukan seseorang yang tepat sebagai pasangan hidup, kenapa tidak?

Menikah bukan tentang usia. Dan bisa dipastikan, kita tidak akan pernah lepas dari komentar-komentar orang lain bahkan setelah kita menikah. Jadi, hiduplah berdasarkan perspektifmu sendiri, berdasarkan apa yang kamu yakini benar dan baik untukmu, selama tidak melanggar ketentuan agama dan menyakiti orang lain.

Rekomendasi:

Referensi :
___. ___. Understanding the quarter-life crisis. [bradley.edu]

Penulis konten: Widya
"Introvert. Belajar memahami dengan menjadi pendengar. Belajar mengerti dengan menjadi pembaca. Belajar berbagi dengan menjadi penulis."